Mantan Menteri Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah kabinet reformasi pembangunan presiden Habibie itu tak merasakan gejala apa pun sebelumnya. Ia tak mengenal rasa sakit di seputaran ulu hati seperti pengidap hepatitis C lain. Suami Male Maria itu tetap saja menjalankan aktivitas tanpa terganggu virus yang berada di tubuh. Sehari-hari badan segar bugar tanpa ada keluhan sakit. “Saat masih menjabat menteri, saya bahkan tidur hanya 3—4 jam sehari,” ujarnya.
Namun, rupanya tubuh mantan ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu laiknya menyimpan bom waktu. Tes kesehatan di Klinik Pramitra Surabaya memperlihatkan, virus hepatitis C, awal dari sirosis alias kanker hati, bersarang di badan. Virus itu ibarat silent killer yang merontokkan organ hati secara perlahan. “Baru terasa setelah minimal 26 minggu karena masa inkubasi virus memakan waktu lama,” tutur Prof Dr Nurul Akbar, SpPDKGEH, ahli hepatologi di Jakarta. Menurutnya pada sebagian kasus, virus hepatitis C tinggal dalam tubuh meski penderita terlihat sehat. Itu yang dinamakan hepatitis C kronis dan mungkin menyebabkan kerusakan hati secara progresif. Penderita berpotensi menularkannya pada orang lain
Itulah yang dialami putra Adnan Martawiredja. Sejak diketahui mengidap hepatitis C, ia baru merasakan kehadiran sang penyakit 2 tahun kemudian. Itu artinya penyakit telah beranjak menjadi kronis. Tahun baru 1999 pun menjadi begitu pahit baginya. Adi mesti pasrah saat dilarikan ke Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura. Dalam satu pekan ia didera rasa lemas, mual, dan pegal di persendian
Pindah Herbal
Sepulang dari Singapura, penanganan kesehatan Adi diambil alih tim dokter kepresidenan. “Rutin 2—3 kali seminggu saya disuntik interferon,” tutur pria 7 cucu itu. Selang dua bulan bukannya malah membaik, kondisi Adi justru menurun. Rasa pegal di tubuh kian menjadi. Satu per satu rambut rontok dan kulit di sekitar wajah menghitam.
Alumnus Teknik Sipil ITB itu kemudian mencoba peruntungan ke rumah sakit University of Catholic Loyola, Chicago, Amerika Serikat. Di sanalah para hepatologis terbaik di dunia berkumpul. Namun, Adi mesti menelan pil pahit. “Belum ada vaksin yang ampuh untuk hepatitis,” paparnya menirukan ucapan dokter. Suntikan interferon satu-satunya obat yang ditawarkan medis. Padahal, efek samping suntikan membuatnya kerap menggigil, menahan mual, dan pegal-pegal.
Dalam kebimbangan, Adi Sasono memutuskan mencari kesembuhan lewat jalur alternatif. Pijat refleksi dari ahli di Cikajang, Garut, Jawa Barat, menjadi pilihan pertama untuk menangatasi hepatitis dan mengobati hepatitis yang dideritanya. Seminggu 3 kali ia rutin menyambangi Cikajang. Ibarat melempar batu ke permukaan air tenang, perlahan gelombangnya menghilang, tetapi batu masih tetap tinggal di dalam. Sama halnya dengan usaha Adi mempertahankan kesehatan. Setelah dipijat, kondisi tubuh menjadi prima. “Hanya saja virusnya tetap ada dalam tubuh,” ujarnya.
Karena itu beragam jalan lain ia tempuh. Ketua umum Partai Merdeka itu tak segan mencoba beraneka jamu. “Dari temulawak, cuka apel, sampai madu pahit saya konsumsi,” tutur pria berjuluk Th e Indonesian’s Most Dangerous Man versi majalah Far Eastern Economic Review, Desember 1998. Itu belum termasuk kiriman jamu-jamuan dan obat tradisional dari para rekan dan kolega di daerah. “Saya minum saja semua,” kelakarnya.
Niat baik mencoba ramuan herbal itu memang bermanfaat. Kesehatannya meningkat drastis. Mantan general manager PT Krama Yudha Philips Welding Electrode Manufacturing itu percaya, obat tradisional sanggup meningkatkan daya tahan tubuh. “Dengan daya tahan prima, tubuh bisa mengatasi gempuran penyakit,” ungkapnya. Toh, ia masih saja mesti berdamai dengan virus hepatitis yang enggan enyah dari tubuh. “Saya mesti berbagi hidup dengan penyakit itu,” ucapnya.
Minyak dara
Berdamai dengan penyakit memang bukan pilihan menyenangkan. Tujuh tahun ia menghabiskan hidup sebagai carier hepatitis. Suatu ketika di penghujung 2004 ia berjumpa dengan rekan lama, Bambang Setiadji, peneliti di Yogyakarta. Dari sanalah perkenalannya dengan virgin coconut oil berawal. Bambang yang meneliti VCO sejak lama menyarankan konsumsi minyak dara secara rutin.
Adi yakin pilihannya kali itu tak meleset. Ingin sembuh, ia meneguk 1—2 sendok makan VCO sehari tanpa didampingi konsumsi obat lain. Dalam hitungan minggu kondisi tubuhnya bertambah prima. Semangat beraktivitas terasa meluapluap. Awal Oktober 2005, noktah cerah kesembuhan mulai tampak di mata pria 62 tahun itu. Hasil tes SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) normal di kisaran 15—17 IU dan SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) pun beranjak stabil di angka 17—20 IU.
Demikian pula tes virus/ antivirus. Virus hepatitis dalam tubuhnya dinyatakan negatif alias telah musnah. Kurang yakin, tes laboratorium di lain tempat pun dilakoni. Serasa mendapat keajaiban, hasil serupa Adi dapatkan. Pantas bila konsumsi VCO tetap saja dilakukan sebagai wujud syukur.
Didukung Riset
Kisah kesembuhan Adi Sasono itu sebuah keniscayaan. Penelitian yang dilakukan Bartolotta S. dan rekan sejawatnya di Universidad Tidak Buenos Udara, Ciudad Universitaria, Buenos Aires, Argentina, menunjukkan asam laurat atau C12 paling efektif menghadang tahap pendewasaan siklus replikasi virus. Lauric acid dalam tubuh bekerja mengurangi hasil sekresi virus dan menghambat tekanan patogen virus, tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup sel dalam jaringan tubuh.
Dokter yang dihubungi Trubus, Prof Dr Nurul Akbar SpPD-KGEH, menjelaskan hepatitis disebabkan oleh virus yang dalam jangka waktu 6 bulan sejak terinfeksi menjadi akut dan bila dibiarkan hingga 6 bulan berikutnya menjadi kronis. Virus masuk ke dalam sel hati dan secara bertahap merusak sel hepar itu.
Virus itu menyebabkan organ hati meradang dan bila pecah akan menyebabkan tubuh menjadi kuning sewarna biliburin. Warna itu akan muncul secara fi sik di permukaan kulit, sela-sela kuku jari tangan, dan putih di mata. Itulah yang menjadi ciripenderita hepatitis.
Jadi, bila ada obat yang bisa menghambat proses replikasi virus sangat disarankan. Selama ini dunia medis mengenal interferon yang berfungsi memperbaiki hati. “Namun, tingkat keberhasilan interferon hanya 10—15%,” ungkap Prof Dr Nurul Akbar, SpPD-KGEH. Meski di lapangan interferon sanggup mengurangi penderitaan akibat hepatitis sebanyak 40%, tapi kemampuannya memusnahkan virus masih kecil.
J. Kabara, Ph.D., profesor emeritus dari Michigan State University, Illinois, Amerika Serikat, dalam buku Minyak Kelapa dalam Bidang Kesehatan dan Penyakit, yang ditulis Conrado S. Dayrit, MD.FACC.FPCC. FPCP., telah mempelajari aspek nutrisi dan kesehatan minyak kelapa murni selama lebih dari 30 tahun. Laboratorium lipidnya menemukan minyak kelapa tanpa pemanasan yang tergolong raw food (makanan mentah untuk diet) di Amerika Serikat, mengandung 47—59% asam lemak jenuh rantai sedang alias medium chain fatty acid (MCFA) dan monoglyceride. Asam lemak itu berupa lauric acid, myristic acid, palmitic acid, stearic acid, linoleic acid, dan sebagainya. Dengan kandungan itu minyak dara baik dikonsumsi penderita hepatitis demi menghambat pertumbuhan virus dalam tubuh.
Yellia Mangan, herbalis di Jakarta Selatan, mengamini bahwa hepatitis berasal dari telur-telur parasit yang berkembang menjadi virus. Virus patogen itu bermantel lemak yang elastis dan aktif. Organisme itu dapat bergerak, menyusup ke bukaan kecil, dan bereplika sebanyak mungkin.
Karena diselimuti lipid alias lemak, virus hepatitis sulit ditembus obat apa pun. Riset yang dilakukan Th ormar H., Isaacs CE., dan rekan-rekannya di Institut Biologi, Universitas Islandia, Grensavegi, Reykjavik, menunjukkan medium chain fatty acid merupakan bahan yang sangat aktif melawan virus yang bermantel lipid.
Percobaan Th ormar dan rekan-rekannya diawali dengan menguji sejumlah asam lemak yang merupakan komponen normal lipid terhadap virus bermantel lipid dan virus yang tak bermantel lipid. Hasil menunjukkan, asam lemak jenuh rantai medium sangat aktif melawan virus bermantel lipid, walaupun konsentrasi asam lemak yang diperlukan untuk inaktivasi virus sebanyak 20 kali lipat. Dan tak satu pun asam lemak yang meng-inaktivasi virus tak bermantel lipid.
Monoglyceride asam lemak itu bersifat antiviral yang dalam beberapa kasus memiliki konsentrasi 10 kali lebih rendah dari free fatty acid-nya. Antiviral asam lemak itu ditemukan berdampak pada virus bermantel lipid, penyebab kebocoran. Pada konsentrasi lebih tinggi ia mendisintegrasi sempurna virus bermantel lipid. Peristiwa itu akan diikuti terjadinya sel virus lisis alias hancur dan kematian pun menjemput sang virus patogen.
Th ormar melakukan percobaan lain dengan memasukkan asam lemak jenuh rantai medium ke dalam koloni virus bermantel lipid. Itu menyebabkan pengurangan jumlah virus 3.000—10.000 kali lipat selama masa inkubasi pada 37°C dalam waktu 30 menit.
Hal serupa dijelaskan kembali oleh Kabara dari Michigan State University, Illinois, Amerika Serikat. Penelitian yang dilakukan sejak awal 1966 menunjukkan senyawa lemak sederhana justru efektif untuk menonaktifk an virus bermantel lipid dengan cara merusak membran lipid dari organisme itu. Dan di antara sekian banyak saturated fatty acid, lauric acid memiliki aktivitas antiviral maksimal.
Penelitian itu mengguanakan virus-virus prototype yang telah dipilih atau dikenali. Mereka representatif dengan strain virus bermantel lipid yang menyerang manusia. Mantel dari virus itu adalah lapisan membran lipid. Setelah diinokulasikan lauric acid dan monolaurinnya, virus-virus menjadi rapuh. Rantai MCFA (Medium Chain Fatty Acid) dan kandungannya bereaksi dengan cara merusak membran lipid virus. Akhirnya virus itu menjadi nonaktif dalam tubuh manusia. Percobaan juga menggunakan saturated fatty acid tipe lain.
Menurut Kabara dan rekan-rekannya saturated fatty acid lebih panjang dari rantai C14, sehingga tidak mempunyai aktivitas signifi kan terhadap virus. Dan dari MCFA, lauric acid C12 paling potensial, terutama kandungan monoglyceride alias monolaurin. Bahan itu lebih aktif daripada caprilic acid C8, caprie acid C10, atau myristic acid C14. Sedangkan dilaurin dan trilaurin sama sekali tidak memiliki aktivitas.
Bahkan Cha dan Sachan dari American College of Nutrition mempelajari efek saturated fatty acid dan unsaturated fatty acid pada ethanol pharmacokinetics sejak 1994. Mereka menyimpulkan pola makan dengan saturated fatty acid berantai sedang melindungi hati dari kerusakan karena alkohol dengan cara memperlambat metabolisme ethanol.
Pantas jika para peneliti itu sepakat, asam lemak jenuh berantai sedang yang terkandung dalam minyak dara efektif dikonsumsi untuk mencegah kehadiran atau bahkan memusnahkan virus patogen. Berbagai penelitian itu menguatkan bukti empiris khasiat minyak perawan menumpas virus hepatitis yang dialami Adi Sasono. Asa kesembuhan para penderita hepatitis pun seakan menemukan sandaran baru, si penyembuh ajaib dari kelapa. (Hanni Sofi a/Peliput: Destika Cahyana dan Lastioro Anmi)
Sumber : trubus-online.co.id